Review: 2014 (2013)




Tadinya film buatan 2013 ini akan rilis bulan Januari 2014, tapi batal karena situasi politik lagi memanas — kurang menguntungkan untuk film berlatarkan Pemilu Presiden kayak gini. Memangnya seberapa ‘bahaya’ sih, serempetan tema film ini dengan realita pemilu? Itu dia yang bikin gue penasaran!


Film dibuka dengan mengikuti Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy) seorang calon presiden sekaligus ketua Partai Nusantara populer di kalangan calon pemilih. Dia gemar blusukan ke pasar sambil pake baju kotak-kotak. Ha! Selain Bagas, ada juga Faisal Abdul Hamid alias FAHAM (Rudy Salam) dan Syamsul Triadi (Akri Patrio) yang sama-sama ngincer kursi presiden. 

Tinggal beberapa minggu lagi menjelang pemungutan suara, Bagas terlibat sebuah kasus yang kayaknya sengaja dirancang untuk menyingkirkannya dari ajang Pemilu. Bagas pun masuk penjara. Anak sulung Bagas, Ricky Bagaskara (Rizky Nazar) yakin bapaknya nggak bersalah. Ia lantas membujuk Khrisna Dorojatun (Donny Damara), seorang pengacara jagoan yang sebenernya udah mengundurkan diri dan memilih jadi dosen, untuk mau membela bapaknya. Khrisna akhirnya mau, diiringi sambutan gembira dari Laras (Maudy Ayunda), anaknya, yang diem-diem giras terhadap Ricky. 

Selain itu, juga ada Briptu Astri (Atiqah Hasiholan), polisi jagoan yang yakin Bagas tidak bersalah. Seberapa jagoankah Briptu Astri? Sangat jagoan, karena dia sanggup latihan banting-bantingan judo di atas lapangan tennis dari semen, tanpa matras, sambil ngobrol pula! Keren kan? Sepak terjang Briptu Astri dibayangi Satria (Rio Dewanto), orang suruhan yang siap melaksanakan perintah apa pun dari majikannya. 


===

Jadi, seberapa 'bahaya' film ini?

Setelah ngikutin berita-berita pemilu selama tahun 2014, pusing lihat kampanye butek di sosmed, mual lihat manuver-manuver licin para politikus, maka intrik-intrik dalam film ini terasa sebagai versi yang udah diencerin dan disederhanain banget. Pihak-pihak 'jahat'-nya di sini vulgar banget, main bunuh orang, sementara kenyataannya kan lebih banyak yang demen main bunuh karakter... Tapi tentunya kesederhanaan dan visualisasi itu yang bisa bikin film ini seru. Ada porsi adegan laga yang lumayan banyak dan dikemas serius, pake jurus-jurus berantem yang sangar dan nggak biasa PLUS ada adegan kebut-kebutan di jalan raya juga loh! Pas gue cek credit title di akhir film, pantes aja, tim koreografer laga dan para stuntman-nya diimpor dari Thailand. Di sana kan emang pada jago bikin film laga, misalnya film favorit gue yang ini nih. 

Secara umum alur penuturan film sangat mudah dicerna. Ray Sahetapy sangat berhasil membawakan karakternya secara kompleks. Sampe 3/4 film pun gue masih dibikin bertanya-tanya, sebenernya Si Bagas ini baik atau culas, sih. Atiqah meyakinkan sebagai polwan jagoan, Rio Dewanto juga nampak mengerikan dan intimidatif banget. Mungkin mereka berjodoh (?). Sayangnya Rizky Nazar dan Maudy Ayunda kayaknya masih belum bener-bener klik dengan perannya masing-masing. Kalo berdasarkan penafsiran gue, karakter Ricky itu seharusnya anak muda yang pikirannya maju, tegas, berani, nggak kenal kompromi. Sedangkan yang dibawakan oleh Rizky baru mentok sampe pembawaan ekspresi muka nyolotin, sifat-sifat lainnya belum keluar. Maudy Ayunda, menurut gue seharusnya membawakan karakter yang diem-diem naksir ke Ricky, malu-malu mau gitu deh. Sedangkan yang muncul adalah ekspresi nggak terlalu tertarik amat, sekalipun bibirnya hampir selalu setengah terbuka; yang ada bukannya sensual namun malah jadi bengong. Mungkin kontak batin mereka kurang terbentuk karena kurang lama ngobrol kali ya. 


...tuh, kan bener...

Seperti gue bilang tadi, gue menganggap film ini adalah penyederhanaan intrik politik yang sebenernya, maka gue 'memaklumi' beberapa elemen cerita seperti: ujian integritas yang diajukan Khrisna kepada Ricky, kayaknya terlalu sederhana dan 'masa iya orang yang ditanya belum pernah denger kasus itu sih', juga kurang banyak tokoh-tokoh culas bermuka dua untuk bisa membuat film ini layak disebut film bertema intrik politik. 

Secara umum penokohan, pemilihan lokasi, dan alur naskah terasa mulus dan klop, tapi justru karena itulah beberapa adegan jadi terasa berlebihan, khususnya adegan-adegan yang melibatkan para waria dan satpam bodoh (saking bodohnya sampe namanya pun berima, Ono dan Oni). Adegan waktu Laras pulang dan menemukan rumahnya berantakan juga terasa kurang logis dan dipaksain biar dramatis doang. Cuma gue suka karena lagu pengiring adegan tersebut adalah 'Nothing Else Matters'-nya Metallica yang diaransemen ulang. 

Selain itu, gue juga merasa sedikit terganggu dengan posternya. Desainnya nampak 'murah', nggak menggambarkan kualitas filmnya yang sebenernya cukup OK. Poster alternatifnya berikut ini malah menurut gue lebih keren: 



Yah memang rada mirip dengan poster beberapa film Hollywood, tapi masih mending daripada poster resminya yang kayak poster iklan rokok gitu. 

Akhir kata, gue merekomendasikan kalian nonton film ini, khususnya buat kalian yang doyan film bertema intrik politik. Dan oh iya, soal apakah seandainya film ini jadi ditayangkan di awal 2014 akan 'bahaya', gue sarankan kalian nonton langsung dan putuskan sendiri. Buruan, seperti biasa jarang ada film Indonesia yang bertahan lebih dari 2 minggu. 

Referensi: 

Komentar

Postingan Populer