Parodi Film: Bangkit (2016)
SPOILER ALERT!
Jangan baca kalo masih ingin penasaran dengan cerita film ini.
SPOILER ALERT!
SPOILER ALERT!
SPOILER ALERT!
SPOILER ALERT!
SPOILER ALERT!
SPOILER ALERT!
Ada bus kejeblos jurang. Muncul sang pahlawan, anggota Basarnas, bernama Addri. Ya, dengan 2 huruf D.
Addri: “Saya akan menyelamatkan Anda semua, satu per satu. Kita mulai dari wanita dan anak-anak!”
Beberapa menit kemudian, hampir semua penumpang berhasil diselamatkan, kecuali ada satu ibu-ibu.
Penonton: “Sebentar, tadi bukannya dia bilang wanita dan anak-anak duluan? Kok bisa ada satu ibu ketinggalan? Padahal penumpangnya tadi ada bapak-bapaknya juga. Berarti bukan wanita dan anak-anak duluan dong.”
Sutradara: “Nggak usah sok kritis, Mas!”
Produser: “Iya! Nantinya masih banyak kok adegan yang bisa dipertanyakan!”
Adegan berikutnya, pagi hari di rumah Addri. Penonton diperkenalkan dengan istrinya, Indri, dan kedua anaknya, Eka dan Dwi. Addri nonton berita tentang cuaca di TV, sementara kedua anaknya ribut kecil-kecilan.
Penonton: “Kenapa adegan ini lama sekali?”
Sutradara: “Supaya penonton gemas pada kelucuan anak-anaknya.”
Penonton: “Tapi sayangnya enggak.”
Berikutnya, Arifin memarkir motornya di basement sebuah mall. Teleponnya bunyi. Ternyata dari calon istrinya, Denanda. Dia lagi di gereja. Pake baju pengantin.
Penonton: “Oooh… mereka akan menikah?”
Sutradara: (dengan nada sinis) “Cermat sekali.”
Penonton: “Ngomong-ngomong… serius, namanya Denanda? Seperti Denada, dengan ekstra N?”
Addri: (tiba-tiba muncul)“Huh, itu masih mending bisa dibaca. Ini ekstra D di nama gue, bakal apaan?”
Arifin mengangkat telepon.
Arifin: “Halo?”
Denanda: “Kamu udah di jalan, kan?”
Arifin: “Udah dong. Cuma mau beli sesuatu.”
Arifin masuk ke sebuah toko.
Arifin: “Permisi, jual cincin kawin?”
Arifin naik ke motor. Di ramp menuju keluar, tiba-tiba jalanan nampak basah. Apa hal wajar yang akan dilakukan seseorang dalam situasi yang sama?
- Jalan terus
- Turun dari motor dan celingukan secara kurang bermanfaat agar kalo ada banjir bandang bisa terseret arus secara dramatis
Penonton: “Sebenernya kami pilih A, tapi… duh… jangan-jangan B, nih.”
Sutradara: “Jenius!”
Intinya: Arifin hanyut, nyaris tenggelam, tapi diselamatkan oleh Addri.
Sementara itu, Denanda yang putus asa menanti mempelai pria yang tak kunjung datang, malah kembali praktik di rumah sakit.
Teman Denanda: “Lho, hari ini bukannya kamu harusnya menikah?”
Denanda: “Mendingan kamu nanya ‘kok gemukan’ seperti biasanya deh, itu terdengar lebih sopan.”
Selesai praktik, Denanda mau pulang naik mobil. Di parkiran, mobilnya didatangi Arifin.
Denanda: “Mau alasan apa kamu?”
Arifin: “Pagi-pagi tadi aku terjebak banjir di basement mall dan nyaris mati tenggelam”
Denanda: “Oh… aku kecewa sekali mendengarnya.”
Arifin: “Kamu kecewa karena mengira aku mengada-ada?”
Denanda: “Bukan, aku kecewa karena selama ini mengira mall baru buka jam 10.”
Cuaca Jakarta memburuk, giliran rumah Addri kebanjiran.
Addri: “Cepat, semuanya naik ke atas!”
Dwi: “Ayah, burungku masih ketinggalan di bawah.”
Addri: “Baik, akan ayah ambilkan dan semoga penonton nggak bertanya-tanya bila di tengah film nanti mendadak burung ini nggak nampak lagi dan nggak ada satupun dari kita yang peduli, ya!”
Penonton: “Tenang aja, kami nggak akan bertanya soal burung. Masih banyak hal lain yang perlu dipertanyakan, sih.”
Addri sekeluarga tadinya aman di atap rumah, sampai akhirnya muncul seorang bocah hanyut, Addri harus bertindak sebagai pahlawan, dan pergi sebentar meninggalkan keluarga.
Eka: “Bunda, lihat, atap rumah tempat kita berdiri ini mulai retak.”
Indri: “Benar sekali Eka. Jangan bergerak ya.”
Eka: “Supaya atapnya tidak tambah retak?”
Indri: “Bukan, posisi kamu udah tepat untuk jadi korban atap jebol.”
Indri: “Bukan, posisi kamu udah tepat untuk jadi korban atap jebol.”
Atap jebol.
Eka: “Aaaaa…!”
Eka terjatuh ke air. Addri kembali dengan bergayut pada kabel listrik.
Addri: “Jaga anak sebentar aja nggak becus.”
Indri: “Eh enak aja ngomong. Kamu nggak tau sih repotnya jadi ibu rumah tangga. Kamu enak kerjanya tinggal gelayutan di tali dan berenang melawan arus liar, sementara aku harus masak, nyuci, bantu anak bikin PR.”
Atap kembali jebol. Giliran Indri nyemplung ke banjir.
Indri: “Aaaaa…!”
Addri: “Terima kasih, atap.”
Eka: “Karma’s a bitch, bitch.”
Eka kemudian ditemukan tewas.
Indri: “Semua ini gara-gara kamu terlalu sibuk menolong anak orang lain.”
Addri: “Hei, kok nyalahin aku? Anak ini nyemplung ke banjir di bawah pengawasan kamu ya!”
Indri: “Ah percuma. Kamu nggak akan mengerti repotnya harus masak, nyuci, bantu anak bikin PR, DAN menjaga agar anak jangan nyemplung ke banjir. Dasar lelaki egois.”
Sementara itu, Arifin ternyata bekerja di BMKG. Bossnya bernama Hadi.
Hadi: “Arifin, saya sudah tempatkan kamu di pesawat bersama tim dari BPPT untuk melakukan PENYEMAIAN.”
Arifin: “Apa? Buat apa saya harus ikut?”
Hadi: “Supaya ada wakil dari kita.”
Penonton: “Sebentar. Penyemaian awan itu bukannya untuk MEMBUAT awan hujan, ya? Lha ini udah hujan deras, buat apa penyemaian lagi?”
Arifin: “Tuh, boss, dengerin!”
Hadi: “Mau melawan atasan, ya?!”
Arifin langsung naik ke pesawat. Ia melihat kondisi awan, dan menelepon Hadi.
Arifin: “Pak, ini gawat pak! Awannya sudah bukan CU lagi, tapi sudah CB, Pak!”
Hadi: “Apa itu artinya?”
Arifin: “Saya juga nggak tau, tapi kedengerannya keren, Pak!”
Hadi: “Oh ya sudah. Sabar aja sebentar lagi.”
Arifin: “Sebentar lagi awannya pergi, Pak?”
Hadi: “Bukan, sebentar lagi pesawat kamu kesamber geledek.”
Pesawat Arifin kesamber geledek, dan jatuh. Addri bersama tim SAR diterjunkan untuk nyari, dan berhasil ketemu.
Addri: “Kamu lagi, kamu lagi. Doyan banget sih terlibat bencana?”
Arifin: “Sebenernya alasan aja biar diselametin sama kamu, Ganteng”
Kondisi semakin parah. Bukan cuma banjir, tiba-tiba gedung-gedung berguguran rontok.
Denanda: “Lho ada apa ini? Gempa?”
Indri: “Halah, paling gara-gara anggaran dikorup.”
Walau hujan kadang berhenti, tapi entah gimana banjir tambah parah. Addri buka-buka iPad milik Eka dan nemu artikel tentang terowongan bawah tanah.
Addri: “Konon ada terowongan bawah tanah dari Manggarai yang langsung menuju ke laut! Sayang lokasinya hanya diketahui seorang profesor nyentrik.”
Denanda: “Oh profesor itu pasienku! Mari kita jemput!”
Profesor berhasil dijemput.
Profesor: (menggambar peta di kertas) “Ini peta terowongannya. Ada di bawah Stasiun Manggarai.”
Arifin: (memasukkan peta Profesor dalam saku) “Ayo kita berangkat kesana!”
Addri: “Ayo!”
Mereka tidak sadar, petanya jatuh. Dwi memungut peta itu, lalu pergi ke Stasiun Manggarai. Di sana dia masuk ke saluran air bawah tanah.
Penonton: “Mau ngapain sih elu di situ, Nyong?”
Dwi: “Nyari terowongan bawah tanah.”
Penonton: “Trus kalo udah ketemu, lu bisa apa? Kenapa nggak lu kasihin aja petanya ke orang dewasa yang lebih kompeten”
Dwi: “Hm, pertanyaan bagus. Tapi coba lihat sepanjang film ini, apakah ada orang dewasa yang kompeten?”
Penonton: “Hm, jawaban bagus.”
Sementara itu, di Stasiun Manggarai sisi lainnya, Addri dan Arifin kebingungan.
Addri: “Mana petanya?”
Arifin: “Aduh, kayaknya ilang.”
Addri: “Lalu bagaimana cara kita menemukan terowongannya?”
Addri panik mencari ke sana-sini . Ia keluar masuk gerbong-gerbong kereta tua.
Penonton: “Emmm… tadi katanya mau nyari terowongan, kok nyarinya dalam gerbong kereta sih?”
Addri: “Nggak usah sok kritis! Lha kalian sendiri ngapain, katanya mau nyari hiburan, tapi nyatanya malah ada di dalam bioskop yang memutar film ginian!”
Terowongan, yang entah kenapa nampak super mirip gua Jepang di Dago, Bandung, akhirnya berhasil ditemukan. Sekumpulan tentara sibuk memasang bahan peledak.
Tentara: “Bahan peledak sudah terpasang. Kami menunggu aba-aba dari pintu air Manggarai. Begitu banjir sampai di sana, bom di terowongan akan kami ledakkan.”
Addri: “Dan itu bisa membuat banjirnya masuk terowongan, lalu ke laut?”
Tentara: “Yap.”
Addri: “Bukannya kalau dibom malah terowongannya runtuh dan nggak bisa dilewati air, ya?”
Tentara: “Saudara mau melawan aparat, ya?”
Akhirnya, terowongan dibom, Jakarta nggak jadi kebanjiran, semua tokoh berkumpul.
Addri: “Syukurlah kita semua bisa selamat.”
Indri: “Tapi kayak ada yang kurang, apa ya?”
Dwi: “Burungku?”
Indri: “Bukan. Itu kan udah kita antisipasi dari awal.”
Denanda: “Profesor?”
Arifin: “Ah biarin aja, yang penting kan kita udah dapet petanya.”
Addri: “Aha, aku tahu… penalaran!”
Penonton: “Jenius!”
Braavoo mas Aggung... ;)
BalasHapusHaha makasi!
Hapus