Review: Peter Rabbit (2018) Bikin Penonton Doain Tokoh Utama Celaka
Biasanya film kan dikemas sedemikian rupa biar penonton bersimpati pada tokoh utamanya, ya. Biar kalo tokoh utamanya dalam posisi terancam, penonton deg-degan, berdoa biar selamat sampai akhir film.
Khusus untuk film ini, gue sih terus terang doain Peter Rabbit-nya cepetan mati.
Digambarkan dalam film ini Peter Rabbit adalah kelinci yang sotoy, sangat iseng dan sangat percaya diri dengan kehebatannya. Entahlah apakah di cerita aslinya digambarkan karakter Peter Rabbit seperti ini, karena gue belum pernah baca bukunya. Tapi kalo menurut artikel yang ini, penggambaran karakter Peter Rabbit dalam film ini melenceng jauh dari yang dibayangkan Beatrix Potter, penciptanya.
Kalo ngelihat penampakan gambarnya, kayaknya karakter Peter Rabbit di buku gak sengeselin di filmnya ya. |
Yang jelas, film dibuka dengan adegan si Peter lagi menunjukkan kebolehannya mengecoh binatang-binatang lain dalam sebuah kejar-kejaran, lalu mengatur strategi bersama ketiga adiknya Flopsy, Mopsy, dan Cotton Tail untuk mencuri sayuran dari kebun seorang kakek bernama Mc Gregor. Yang bikin tambah nyebelin, Peter ini nggak sekedar mencuri sayuran untuk dimakan sendiri, tapi mencuri dalam jumlah berlebihan. Nggak cukup sampai di situ, dia juga sengaja mengintimidasi kakek McGregor.
Peter Rabbit dan ketiga adiknya Flopsy, Mopsy, dan Cotton Tail plus Benjamin (sepupu) dan Bea |
Kalo posisinya udah kepepet, backing andalan Peter adalah Bea, tetangga kakek McGregor. Mungkin Bea ini adalah personifikasi Beatrix Potter si penulis kisah Peter Rabbit karena digambarkan dia adalah seorang pelukis yang sering melukis Peter sekeluarga. Dari lukisan-lukisan Bea pula penonton dikasih tau bahwa ayah Peter udah mati di tangan kakek McGregor, karena ketangkep masuk kebun lantas dimasak jadi pie. Orang Inggris demen ya, makan pie kelinci?
Informasi ini mungkin dimaksudkan sebagai penguat alasan kenapa Peter begitu kurang ajar kepada kakek Mc Gregor, tapi entah kenapa tetep aja bagi gue Peter tetep aja nyebelin. Udah gitu, desain karakternya beneran dibuat 100% mirip hewan asli, sama sekali nggak ada gaya kartun-kartunan seperti umumnya film animasi lain, sehingga saat karakter-karakter film ini ngomong ada sedikit kesan creepy: hewan kok bisa ngomong.
Berikutnya, karena satu dan lain hal, kakek McGregor meninggal. Peristiwa ini disambut gembira oleh Peter dan seluruh hewan yang sering nyuri di sana. Tapi kegembiraan mereka nggak berlangsung lama karena kemudian muncul Thomas, keponakan kakek McGregor yang ketiban rezeki dapet warisan properti dari paman yang nggak pernah dia kenal.
Saat Thomas dateng rumah yang diwarisinya itu, dia jadi sasaran keisengan hewan-hewan, dan di sisi lain juga ditaksir oleh Bea sang tetangga. Cerita selanjutnya adalah seputar kecemburuan Peter kepada Thomas dan perjuangan Thomas melawan keisengan para hewan.
===
Secara umum, kesan gue atas film ini ya seperti yang gue tulis di judul posting ini: bikin gregetan pada sosok Peter. Walaupun begitu, gue perhatiin reaksi anak-anak yang nonton film ini rata-rata terhibur. Mereka ketawa-ketawa lihat ulah para hewan dan ikutan seru saat di layar ada adegan kejar-kejaran. Kelihatannya, film ini cukup berhasil menghibur target audience-nya.
Domhnall Gleeson yang berperan jadi Thomas lagi-lagi sukses membawakan peran tokoh yang teraniaya. Gue pertama kali terkesan nonton aktingnya di film About Time, di mana dia berperan sebagai "cowok biasa-biasa aja" yang di beberapa kesempatan tampil culun, tapi juga nggak memosisikan diri sebagai karakter pecundang yang jadi pelengkap penderita. Nah, di film Peter Rabbit ini dia kembali berhasil membawakan keseimbangan yang sama untuk karakter yang diperankannya.
Kesimpulannya: untuk hiburan anak, film ini berhasil banget walau mungkin orang tua sedikit perlu menyiapkan jawaban kalo anaknya mempertanyakan adegan pacaran di bagian tengah film. Nggak ada adegan yang vulgar, tapi tetep aja ada kemungkinan timbul pertanyaan sulit seperti "Kelincinya cemburu yah? Kenapa, dia ingin kawin juga dengan Bea?" Nah, loh.
Komentar
Posting Komentar