Review: Onward (2020), film bagus yang apes
Sejak meluncurkan "Toy Story" tahun 1995, citra Pixar di kepala gue adalah sebuah studio yang mampu bikin film dengan perspektif unik. Ya Toy Story itu contohnya, kok ya kepikiran bikin film tentang "kehidupan rahasia" sekumpulan mainan. Film-film mereka lainnya seperti Monsters, Inc (energi jeritan bocah sebagai sumber tenaga listrik, wow!), Ratatouille (tikus yang bercita-cita jadi koki), sampe The Incredibles (gimana kehidupan sehari-hari sebuah keluarga superhero), buat gue adalah ide-ide cerita yang brilian banget, plus diproduksi dengan kualitas yang makin lama juga makin keren.
Sayangnya sejak 2017, Pixar nampak mulai keabisan ide. Dari 4 film yang mereka rilis, 3 di antaranya adalah sequel (Cars 3, Incredibles 2, dan Toy Story 4). Untungnya masih ada Coco, film yang mengikuti "pakem" Pixar dalam arti punya ide cerita yang unik dan nggak kepikiran oleh penonton. Tapi sisanya, walaupun nggak bisa dibilang jelek, efek "wow"-nya kurang nendang karena sekadar meneruskan cerita yang udah pernah dibikin sebelumnya. Bukan berarti gue anti sequel ya, karena biar untuk rangkaian cerita Toy Story, misalnya, menurut gue ada di Toy Story 3 (dan seharusnya* nggak usah diterusin sampe Toy Story 4).
Dengan kinerja Pixar selama 3 tahun terakhir, gue nggak terlalu antusias menyambut flm Onward ini. Saat film ini rilis awal Maret 2020, beberapa minggu sebelum penetapan kebijakan PSBB, gue nggak terlalu tertarik nonton. Eh nggak disangka-sangka, beberapa waktu setelah film ini beredar ada PSBB, bioskop tutup, dan peredaran film ini terpaksa dibungkus sebelum waktunya. Kelihatannya Onward akan jadi film Pixar kedua yang merugi setelah The Good Dinosour (2015), dan gue duga ruginya akan jauh lebih besar.
Sayang banget, karena justru di film ini Pixar nampak kembali ke jatidirinya, menawarkan ide cerita yang unik.
Onward berlatar sebuah dunia dongeng di mana mahluk-mahluk ajaib seperti elf, mermaid, unicorn, centaur, dan naga hidup berdampingan dengan manusia yang tentunya pada jago sihir. Tapi pada suatu titik, manusia menemukan bahwa ilmu pengetahuan jauh lebih mudah dikuasai daripada sihir. Sejak itu, manusia memilih nyalain api lewat kompor gas ketimbang repot-repot pake tongkat sihir yang kadang suka salah sundut.
Cerita lalu beralih pada dua bersaudara elf, Barley si kakak (Chris Pratt) dan Ian si adik (Tom Holland). Mereka tinggal bertiga dengan ibunya, karena ayah mereka udah meninggal sejak Ian masih kecil sekali. Pada ulang tahun Ian yang ke-16, ibunya membuka sebuah benda wasiat peninggalan ayah Barley dan Ian, yang disertai pesan "hanya boleh dibuka saat kedua anak ini berusia minimum 16 tahun). Isinya ternyata sebuah tongkat sihir yang mampu mewujudkan keinginan terpendam Ian, namun dengan syarat yang nggak gampang terpenuhi.
Konon daya tarik sebuah film ditentukan dalam 5 menit pertamanya, apakah berhasil menggaet minat penontonnya. Berdasarkan parameter itu, film itu berhasil banget menggugah minat untuk terus nonton, saat menyuguhkan kontrasnya keadaan dunia saat orang masih mengandalkan sihir vs saat orang udah ke mana-mana nenteng ponsel. Karakter Barley dan Ian juga sangat menarik, multidimensi dan mengalami pertumbuhan seiring berjalannya cerita. Tom Holland dengan mulus membawakan trademark-nya, karakter remaja yang masih galau mencari identitas.
Naskah film ini rapi banget menyusun elemen demi elemen secara efisien, semua terpakai dan berkembang dalam cerita tanpa ada yang "mubazir". Karakter mahluk-mahluk mistis yang bermunculan di film ini, beserta segala sifat dan kemampuan ajaibnya, dimanfaatkan dengan cermat banget untuk menggali dan mengembangkan cerita. Favorit gue tentunya kemunculan The Manticore yang disuarakan oleh Octavia Spencer, aktris yang pembawaannya cocok buat peran-peran sejenis pekerja sosial (di Instant Family, 2018) atau guru (di Luce, 2019).
Dua jempol buat Dan Scanlon, sang sutradara sekaligus salah satu dari 3 penulis naskah film ini (bareng Jason Headley dan Keith Bunin). Film Pixar lain yang ditulis dan disutradari oleh Dan Scanlon adalah Mosters University, tapi gue jauh lebih suka hasil karyanya di film Onward ini.
Akhirnya, seperti gue sebut di awal tulisan, film bagus ini terpaksa bernasib malang karena pandemi Covid-19. Tapi buat kalian yang belum sempet nonton di bioskop seperti gue, udah bisa nonton Onward dari Google PlayStore kok. Filmnya bisa disewa atau dibeli. Kalau dibeli, maka filmnya akan terus tersimpan dalam account kita, bebas ditonton berulang kali. Gue sih berani bilang, film ini termasuk layak untuk dikoleksi karena nggak akan bosen untuk ditonton ulang.
*"seharusnya"? Dih siapa gue, kok ngatur?
Komentar
Posting Komentar