Review: Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015)


Baru kali ini gue sampe merasa perlu "belajar" dulu sebelum nonton film. Ada dua pemicunya. 
  1. Pengalaman nonton film Lincoln: udah mana pengetahuan gue tentang sejarah Amerika minim banget, cuma ngerti Lincoln itu anti perbudakan dan matinya ditembak, eh di filmnya muncul tokoh banyak banget yang mukanya nampak sama semua karena rata-rata berewokan. 
  2. Pengalaman nonton Soegija, biopic buatan Garin Nugroho sebelumnya. Walaupun gue bisa mengikuti alur cerita film itu, tapi keluar dari bioskop gue masih bertanya-tanya, "Kenapa sih ceritanya begitu muter-muter, tokoh Soegija-nya malah hanya muncul sedikit, dan banyak elemen cerita yang nggak nyambung?"



Untuk poin pertama, 3 hari sebelum nonton gue baca berbagai tulisan tentang Tjokroaminoto karena pengetahuan gue cuma terbatas pada nama jalan utama di Menteng. Dari hasil 'riset' kecil-kecilan itulah gue baru tahu keunikan Tjokroaminoto yang pernah menjadi mentor tokoh-tokoh 3 ideologi di Indonesia: Sukarno yang nasionalis, Soemaun dan Muso yang komunis, dan Kartosuwiryo yang Islam. Mungkin akibat pergaulan tokoh-tokoh ini juga Soekarno dapet inspirasi bikin Nasakom yang gabungan nasionalis, agama, dan komunis. Mungkin, lho ya. 

Untuk poin kedua, gue browsing resensi-resensi yang ditulis orang tentang Soegija. Dari situlah akhirnya gue dapet pencerahan: Garin itu ternyata sangat suka pake simbol. Memang, umumnya bahasa film adalah bahasa simbol, tapi simbol di tangan Garin adalah Simbol dengan S kapital. Simbol bahkan bisa muncul dalam bentuk tokoh: menggunakan tokoh fiktif sebagai simbol karakter tokoh utamanya, Soegija. Pantesan tokoh fiktifnya banyak banget!

Berbekal kedua pengetahuan baru ini gue nonton Guru Bangsa: Tjokroaminoto dengan penasaran: simbol apa yang akan muncul di film ini? Apakah Garin akan make pendekatan yang sama dengan waktu bikin Soegija: tokoh utamanya cuma muncul sekedarnya dan layar dipenuhi tokoh fiktif?

Ternyata kali ini Garin nampak mencoba sedikit 'membumi': tokoh Tjokroaminoto digambarkan jelas dan tegas sejak film dimulai. Reza Rahadian lagi-lagi tampil keren, padahal konon dokumentasi audio dan video tentang Tjokroaminoto hampir nggak ada. Ya iyalah secara hidupnya di tahun 1920an gitu. Artinya cara ngomong dan gerak-gerik Reza Rahadian saat memerankannya adalah interpretasinya sendiri berdasarkan tulisan dan foto. Kebayang betapa ribetnya proses pendalaman karakternya!

Karena mengantisipasi akan ada banyak simbol, gue jadi sibuk melototin layar, nyari benda, omongan bahkan blocking posisi para pemain di layar, dan mencoba menyatukannya jadi pola simbol. Ternyata nonton film dengan cara begini asik juga! Coba aja simak simbolisasi kapas yang muncul berulang kali di film ini, juga pertanyaan berulang (kalo gak salah dalam 3 adegan berbeda) dari Tjokroaminoto ke Agus Salim, "Jadi, sudah sampai di mana hijrah kita?" Perhatiin bagaimana pengaturan blocking mereka, dan di mana lokasi dialog-dialog itu terjadi. Seru!

Pemain-pemain lainnya secara umum juga keren-keren, kecuali Chelsea Islan yang entah kenapa selalu nampak seperti Chelsea Islan dari film ke film. Tapi yang mengagumkan adalah detil propertinya: ada trem, mobil dan kereta api kuno yang masih kinclong dan beneran bisa jalan, juga setting rumah dan suasana kota zaman dulu yang detil banget. Justru karena teknologi perfilman Indonesia masih serba terbatas, saat kita ngelihat mobil, kereta, dan gedung kuno di layar, kita tau itu beneran ada bendanya, bukan lukisan kaca atau animasi komputer, dan itu justru terasa lebih keren. Cuma Hotel Oranje-nya aja sih yang nampak sedikit terlalu tripleks.

Kesimpulanya, film ini mungkin bukan film yang bisa lu nikmati sambil iseng, "yaaah, nggak dapet tiket Furious 7, ya udyah dyeh nonton Tjokroaminoto aja" tapi yang jelas punya banyak hal yang bisa ditonton, dan dinikmati. Tungguin tayangnya tanggal 9 April 2015 ya! 

Komentar

Postingan Populer