Review: Ngenest: Kadang Hidup Perlu Ditertawakan (2015)




Tentang kenapa di sini kaum Cina ‘diperlakukan khusus’ adalah pertanyaan yang belum berhasil gue temuin jawabannya. Kenapa kita bisa santai bilang, “Si Joko Jawa, Si Tigor Batak, Si Asep orang Sunda,” tapi giliran “Si Ling Ling” mendadak kagok, lantas jadi nginggris: “Chinese”? Atau yang lebih absurd lagi: pencanangan sebutan Cina diganti jadi Tionghoa oleh Bapak Presiden yang kemarin. Kenapa?

Biasanya sih kita mengganti istilah untuk hal-hal yang negatif, kasar, atau menghina. Misalnya, sebutan “babu” dirasa kurang pantes, lalu diganti jadi “pembantu”, dan belakangan jadi “asisten”. Tujuannya demi menghormati mereka yang berprofesi sebagai babu. Lah, memangnya apa yang salah dengan Cina, sehingga sebutan Cina harus diganti, atau minimal diucapkan dengan sangat kagok?

Ernest Prakasa nampaknya punya pertanyaan yang sama, dan tentunya dengan alasan yang lebih kuat dari gue. Kondisi ke-Cina-annya jadi materi stand-up, lantas buku, dan sekarang bukunya diangkat pula ke layar lebar. Nggak tanggung-tanggung, Ernest berperan jadi penulis naskah, sutradara, sekaligus pemeran utama. Ngelihat bukunya yang berupa kumpulan cerita pendek dan gak saling berhubungan, gue awalnya susah ngebayangin bakalan kayak apa cerita filmnya. Ekspektasi gue, film ini akan berisi rangkaian kejadian lucu, berupa sketsa-sketsa pendek gitu.



Ternyata Ernest punya solusi cerita yang lebih manis. Dengan mematok kisah hidupnya sejak lahir sebagai benang merah, film ini menceritakan kegelisahan seorang keturunan Cina atas perlakuan para pribumi. Sesuai dengan sub judulnya, “Kadang Hidup Perlu Ditertawakan”, penindasan kaum pribumi kepada para keturunan Cina, yang sebenernya miris, malah dijadiin adegan-adegan kocak. Sebagian besar berhasil, diindikasikan dari jumlah ketawa para penonton bioskop. Menurut gue 2 faktor penting yang bikin joke-joke film ini berhasil:

1.Timing
Coba deh perhatiin, film komedi yang garing biasanya lemah di timing. Adegan yang berpotensi lucu malah jadi berantakan gara-gara dipanjang-panjangin, atau dikasih sound effect nggak penting. Di film ini, joke-jokenya sangat lugas dengan penempatan waktu yang pas.

2. Casting
Para pemeran film ini pas semuanya, nggak ada yang salah pilih. Favorit gue adalah pemeran Ernest di masa SMP/SMA. Ya ampun tampangnya culun banget, nggak heran dia jadi sasaran bully. Dan oh iya, pemeran Om Hengki, MC kawinan merangkap penyanyi juga ciamik banget.

Di awal berdirinya komunitas Stand Up Comedy Indonesia, Ernest adalah kolaborator: dia salah satu motor yang merintis ajang open mic untuk sarana latihan, merekamkan video para komika baru, mengupload ke Youtube, dan lantas diskusi bareng soal teknis. Di film ini, semangat Ernest sebagai sosok kolaborator juga terasa. Para komika muncul sebagai peran pendukung di film ini dapat porsi lucu yang adil. Bahkan di akhir film Ernest juga muncul memperkenalkan orang-orang di belakang layar, sebagai penghargaan atas dukungan mereka. Mungkin semangat kolaborasi juga yang bikin film ini terasa mulus, nyaman ditonton dan ringan tanpa jadi kacangan. Dan oh iya, nilai plus juga untuk tata suaranya. Penyakit umum film Indonesia adalah dialog yang nggak kedengeran karena aktornya ngegerendeng, atau ketimpa suara lingkungan. Dialog di film ini jelas kedengeran semuanya, mungkin saking jelasnya bisa dipake buat bule-bule yang lagi ingin belajar Bahasa Indonesia.

Kalaupun ada yang perlu dipoles lagi dari film ini adalah penggarapan adegan-adegan dramanya. Awal babak ketiga terasa kurang mulus, terutama adegan Patrick dan Ernest di markas persembunyian mereka. Nonton adegan itu seraasa nonton bola yang operannya meleset melulu. Ada beberapa dialog yang rasanya nggak wajar direspon demikian, juga ada beberapa dialog yang pas tapi ekspresinya terlalu datar.

Yang jelas, gue yakin Ernest masih akan punya banyak kesempatan buat belajar. Ini film pertamanya, tapi pasti bukan yang terakhir. Film ini udah 2 minggu di bioskop, dengan jumlah layar yang bertambah karena penontonnya membludak. Sebuah prestasi yang langka untuk sebuah film Indonesia. Gue yakin Ernest nggak akan kesulitan cari modal untuk film-film berikutnya. Seperti biasa, Ernest juga jeli mengatur strategi marketingnya. Dia bikin acara nonton bareng, dan coba perhatiin lokasi-lokasinya: Gading, Citraland… kantong-kantong Cina!

Kesimpulannya: film ini wajib tonton, tapi ikuti batas umurnya ya. Ini film 13 tahun ke atas, kalo lu ngajak anak kecil nonton, akan ada banyak hal yang harus lu jelasin nantinya.  

Komentar

Postingan Populer